Di Indonesia, perjalanan panjang domestikasi ayam telah membentuk tradisi khas. Sabung ayam, atau adu jago, sudah ada sejak dulu di Nusantara. Game ini lebih dari hiburan; ia adalah bagian penting dari budaya, interaksi sosial, dan politik. Kisah seperti Cindelaras dan Ciung Wanara menunjukkan pentingnya sabung ayam dalam kehidupan masyarakat.
Sabung ayam juga menandai icon kejantanan dan keberanian di berbagai daerah. Hal ini membuat ritual ini lebih dari sekadar games ayam. Ia mewakili simbol kekuasaan bagi banyak orang.
Sejarah Sabung Ayam di Nusantara
Di Pulau Jawa, sabung ayam bermula dari cerita Cindelaras. Cerita itu menceritakan duel ayam sakti milik Cindelaras melawan ayam Raja Jenggala. Ini menunjukkan bahwa sabung ayam lebih dari hiburan. Ia juga menandai dinamika politik pada masa itu. Peristiwa sabung ayam ada kaitannya dengan politik, misalnya kisah kematian Prabu Anusapati dari Singosari saat menontonnya.
Di Bali, sabung ayam dikenal sebagai ANGKARAJA Tajen. Asal-usulnya berasal dari tabuh rah, sebuah yadnya di masyarakat Hindu Bali. Tajen dipercaya membawa makna ritual dan religius. Ia dipakai untuk menjalin hubungan baik manusia dengan alam semesta (bhuana agung). Meski berbagai penilaian, tradisi ini bertahan sejak zaman Majapahit dan masih berlanjut dengan kontroversi judi di dalamnya.
Tradisi sabung ayam juga kuat di budaya Bugis. Dalam Epos La Galigo, Sawerigading dinobatkan sebagai tokoh utama, ia terkenal suka sabung ayam. Masyarakat Bugis dulu menganggap sesorang tidak berani jika tidak menyabung ayam (massaung manu’). Bahkan, sabung ayam memicu konflik awal di antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Konflik dimulai dari adu ayam antara kedua raja.
Tradisi sabung ayam di Nusantara sudah ada sejak masa kerajaan, catatan awalnya datang dari Kerajaan Kadiri sekitar 1596. Di Indonesia, sabung ayam dilarang kecuali di Bali. Clifford Geertz membuat esai tentang sabung ayam di Bali.
Makna Budaya sabung ayam di Berbagai Daerah
Sabung ayam sangat penting dalam Nusantara, lebih dari sekadar hiburan. Di Bali, Tajen (sabung ayam) sangat sakral. Ini terkait erat dengan status sosial dan simbol kekuasaan. Penelitian Clifford Geertz menunjukkan, Tajen merefleksikan status, otoritas, dan etika sosial di Bali. Taji ayam juga dianggap memiliki makna spiritual. Masyarakat meyakini harus diasah pada waktu khusus.
Budaya Bugis menyematkan makna kejantanan pada ayam jantan. Sejarah dan kisahnya, seperti Cindelaras dan Ciuang Wanara, mencerminkan keberagaman budaya Nusantara. Perbedaan dalam sabung ayam Bali, disebut “tetajen” dan “tabuh rah”, mengungkap variasi ritual dan keagamaan lokal.
Antropolog dan sejarawan sering mengaitkan sabung ayam dengan status dan kepahlawanan di masyarakat Indonesia. Sabung ayam juga berperan melestarikan perjudian secara tidak langsung.
Jenis-Jenis Sabung Ayam di Indonesia
Dalam budaya Bali, sabung ayam atau Tajen terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
Yang pertama ialah Tabuh Rah. Ini dilakukan dalam upacara Hindu Bali atau Bhuta Yadnya. Darah ayam yang jatuh ke tanah dianggap sebagai doa kepada Tuhan untuk keamanan.
Tabuh Rah juga di Pandang sebagai Simbol dari permohonan agar terhindar dari malapetaka.
Tabuh Rah ini melambangkan spiritual dan makna mendalam dalam kepercayaan Hindu Bali.
Tajen Terang adalah yang kedua. Ini untuk mengumpulkan dana untuk pembangunan desa di Bali. Meski ada unsur judi, Tajen Terang diberi izin resmi.
Tajen Terang menyertakan judi dalam bentuk izin karena tujuannya yang positif. Ia membantu pembangunan desa.
Yang ketiga, Tajen Branangan. Ini dilakukan secara rahasia dan tanpa izin resmi. Sehingga, ia terasa lebih seperti perjudian. Taruhan di Tajen Branangan juga lebih besar daripada Tajen Terang.